Re : Nik*h. Part 2

(Lanjutan..)

Seperti bagian sebelumnya, tulisan ini bukan untuk menggambarkan “keterburu-buruan” menikah. Bukan, bukan itu. Ini tulisan hanya tuangan dari kepahaman selama ini, juga apa yang penulis tahu tentang kata itu. Dan sengaja dibuat dengan judul yang sedikit aneh dan sangat tidak sensasional, karena penulis berkeyakinan, untuk bahasan mengenai tema ini selalu menarik, dan berharap tidak menjadikan tulisan ini sebagai rujukan utama, tapi sebagai pelengkap apa yang selama ini difahami. Dan teringat salah satu kicauan sobat di Twitter, mengumpulkan semua teori, untuk menciptakan teori-teori baru. Allahu’alam, mari kita lanjutkan..

Tanpa pacaran, lantas harus seperti apa? Atau bagaimana cara terbaik untuk meminang? Hmm. Sebentar. Saya khawatir banyak orang menyangka, kita ini nggak boleh jatuh cinta pada seseorang. Afwan kalau selama ini saya termasuk orang yang membahasakan seperti itu. Tidak saudaraku, jatuh cinta itu nggak haram. Itu fitrah yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Hanya saja, bagaimana kita membingkai ‘jatuh cinta’ itu yang dapat menjadikannya haram. Sampai melupakan Allah bahkan mengambil hak-hak Allah? Jelas, itu tentu haram. Sampai berani menyentuh yang bukan haknya? Sampai membuat lagu mau berbuat apapun ingat si dia..? Ya rabbana, jangan sampai. Ingat hadits, segalanya berawal dari niatan. Begitu pula jatuh cinta kita. Bahkan di hadits tersebut Rasulullah singgung mengenai niat karena ‘perempuan yang ingin di nikahinya..’. strategi awal yang kita –khususnya saya- perlu lakukan adalah mengembalikan segala niatan pada Allah ta’ala. Rabbul asbab. Rabb segala sebab yang ada.

Saya membaca di blog tetangga, saudara saya yang memang kita belum pernah jumpa, dan kami kenal lewat teman saya dulu SMA. Di situ di tulis ikhwah di kampusnya sempat memboikot walimahan seorang akh, hanya karena al akh tersebut tidak memproses melalui Murabbi. Subhanallah. Buat saya, ini kebodohan. Sepatutnya, Salman Al-Farisi dulu di jauhi oleh para sahabat jika boikot itu cara yang benar! Seandainya proses menuju pernikahan itu sesuai dengan syariat meskipun tidak melalui murabbi, mengapa ia di salahkan? Bukankah kefanatikan kita hanya ada pada Islam? Allah lah tempat memohon pertolongan.

Proses pelamaran melalui Murabbi, melalui Ustadz, menggunakan proposal, sepaham saya –sepaham saya lho ya- adalah salah satu cara yang mempermudah kita untuk tetap berada di koridor syar’i. Apakah cara itu di contohkan Rasul? Saya rasa tidak. Para sahabat bahkan langsung datang menemui wali wanita yang ingin di pinangnya. Memang sangat baik ketika kita mengikuti aturan jamaah, terlebih kita berada di dalam jamaah tersebut. Namun, setiap insan memiliki kemerdekaan untuk melakukan yang berbeda, asal tetap berada di koridor syar’i, sekali lagi, berada di koridor syar’i! Semoga saya tidak dihakimi, tersebab dua paragraf ini 🙂

Lalu, bagaimanakah koridor yang syar’i itu? Wallahualam.. 🙂

Proses yang di mulakan dengan –yang hari ini populer di sebut- taaruf, apakah itu ada dalam ajaran Islam? Hmm. Sependek pengetahuan saya kok tidak ada ya? Sepertinya istiah ini populer belakangan, salah? Nggak. Malah mempermudah kita untuk tetap syar’i. Proses mengenal calon pasangan itu tetap perlu. Sebab, di zaman Rasulullah ada seorang wanita yang menyesal menikah karena tidak mengetahui ‘bentuk’ pasangannya. Afwan, saya agak lupa nama sahabatnya. Yang saya ingat, wanita itu datang menghadap Rasulullah mengadukan perihal pernikahannya, bahkan sampai mengatakan ‘ternyata suamiku pendek dan hitam..’. kemudian Rasulullah mengajarkan untuk melihat terlebih dahulu, agar tak lagi ada seperti membeli kucing dalam karung.

Namun yang unik adalah, atau setidaknya ini di sekitar saya saja, orang yang menikah dengan cara ini perjalanan rumah tangganya berjalan harmonis. Bahkan, yang saya lihat, lebih harmonis di banding mereka yang sebelumnya sudah pacaran. Kenapa ya? Wallahualam. Mungkin Allah berkahi dengan prosesnya yang tidak melangar syariat. 🙂

Namun, ada satu pernikahan yang menggunakan cara ini gagal. Ya, tepat di dekat saya. Ada seorang ikhwan yang memang sudah lama ingin menikah, namun belum kunjung tiba jodohnya. Sampai suatu hari, saya lupa itu 3 atau 4 tahun yang lalu, datang kabar gembira dari bilik sederhana rumahnya bahwa ia akan segera menikah. Saya yang nggak terlalu dekat pun ikut senang, kenapa? Alhamdulillaah akhirnya nikah..! Sayang waktu resepsi saya berhalangan hadir. Dengan acara yang boleh di bilang sederhana, saya kurang tahu apakah posisi ikhwan dan akhwat di pisah atau tidak, berjalanlah resepsi itu di desa saya. Sore selesai, tentu guratan senyum terus tergambar di wajah si ikhwan yang sudah lama menunggu.

Satu peristiwa yang tak dinyana. Keesokan harinya tersiar kabar si akhwat meminta cerai. Subhanallah! Baru satu hari, ah tidak, satu malam, kurang dari 24 jam sejak akad si akhwat meminta cerai. Tentu ini membuat bukan hanya orang-orang tua yang heboh, namun anak muda seperti saya dan teman-teman ikut bingung bertanya-tanya, ‘ada apa gerangan..?’ . tabayun yang kami dapat dari si ikhwan sekedar, ‘nggak tahu, saya belum ngapa-ngapain’. Ya, dari beliau kami mendapat informasi, mereka belum apa-apa. Sekedar bertemu. Tiba-tiba minta cerai. Subhanallah..

Lisan orang licik mungkin akan mengatakan, ‘nah, gitu tuh akibatnya kalo nggak pacaran..’. Buat saya, peristiwa itu mengajarkan bahwa sebelum menikah, kita harus mengerti kondisi pasangan. Bahkan, sampai penyakitnya pun kita harus tahu, agar tak ada penyesalan yang datang belakangan. Bismillah, semoga Allah mudahkan.. Sebagai catatan, ikhwan dan akhwat tadi bukan orang jamaah yang saya ikuti gerakannya.

Di sisi lain, ada pernikahan yang penuh kebahagiaan dengan cara yang sama. Belum kenal. Bertemu lewat proposal. Dari beliau ini saya belajar, benar-benar belajar bahwa nikah merupakan jalan rizki. Beliau yang sebelumnya nggak punya motor, selepas menikah punya motor sendiri, bahkan rumah sendiri meskipun ngontrak. Hei, segalanya yang milik pribadi bukankah lebih membahagiakan..? Apa kuncinya..? Hmm. Agaknya proses taaruf mereka berhasil. Saling mengenalkan diri satu sama lain. Mendalami pribadi masing-masing, sehingga keduanya siap ketika harus menghadapi sisi ‘jelek’ pasangannya.

Ya, nikah bukan hanya sekedar kesiapan fisik dan harta. Kesiapan mental juga di perlukan. Yang awalnya melakukan apa-apa sendiri dan tidak ada yang menegur, setelah menikah ada yang mengomentari. Mungkin itu yang di sebut saling melengkapi. Satu waktu, guru saya pernah bercerita, dia sangat nggak suka melihat orang lain yang memiliki sifat A. Nggak di sangka, setelah menikah istrinya ketahuan punya sifat A itu. Sampai hari ini, itu salah satu kepahaman saya tentang saling melengkapi. Keburukan seseorang membenci sifat A perlahan terobati dengan di milikinya sifat itu oleh orang yang di cintai. Bagaimanapun, ia harus belajar dewasa menerima sifat A, bahwa siapapun mungkin saja memilikinya. Di tempat lain, saling melengkapi di artikan kalau satunya nggak bisa sesuatu, biasanya pasangannya bisa melakukannya. Unik. Dan hal-hal seperti ini, agaknya dapat di ketahui lewat satu proses, saat taaruf.

‘Mana cukup taaruf cuma satu dua hari..?’ Tenang saudaraku, orang yang membimbing saya selama 4 tahun menceritakan malam pertamanya habis untuk saling mengenal, sampai-sampai beliau masuk angin karna ngobrol begadang semalaman. 🙂 bukankah itu lebih romantis..? 🙂

Lantas, apa yang perlu di lihat dalam proses ini..? Mari ingat ingat satu hadits, yang berisi kira begini, seorang wanita di nikahi karena 4 hal, kecantikannya, nasabnya, hartanya, dan agamanya. Dari ke 4 itu maka lihatlah kepada agamanya. Sekiranya agamanya baik, maka yang lain bukanlah menjadi persoalan. Cantik nggak beragama..? Hmm. Keturunan ningrat nggak bisa sholat..? agak berat dakwahnya. Orang kaya tapi sama Allah durhaka..? kayaknya bakal sengsara. Dari kesemuanya, keimanan lah yang utama, keislaman lah yang utama. Harta Allah sudah jamin bagi setiap insan. Nasab, jadikan keluarga kita menorehkan sejarah di dunia, dan berjaya di akherat. Fisik jadikan pasangan kita adalah orang tercantik yang pernah ada di dunia.

Kalau ingat ini, saya ingat mengenai syarat. Hehe. Beberapa orang yang saya kenal mengajukan syarat yang unik. Seorang ikhwan menyebut syarat untuk calon istrinya, “nggak perlu cantik yang penting menarik.. nggak perlu putih yang penting bersih..”. percaya nggak percaya susunan kalimat itu maknanya dalam. :). Namun, daripada syarat itu, dengan tetap menaruh rasa hormat kepada ikhwan tadi, saya terkagum dengan sebuah catatan kecil di sebuah ruangan beberapa tahun yang lalu. Di sebuah buku berwarna biru. Hmm.. sebut saja itu punya ‘kakak’ saya.. :D

Saya agak kurang yakin apakah susunan kalimat itu merupakan sebuah syarat untuk calon suaminya atau bukan, yang jelas, kalimat itu tercatat di benak saya hingga sekarang. Kalimat sederhana. “Aku Cinta Allah, Dia Cinta Allah.. Aku Sayang Dia, Dia Sayang Aku..”. sesederhana itu, namun sulit di implementasikan. Ada syarat fisik? Allahualam bagaimana ‘kakak’ saya dulu. Yang saya tangkap, untuk menuju gerbang suci pernikahan ‘Aku’ haruslah benar-benar mencintai Allah terlebih dahulu. Sebab, segala kebahagiaan memang hanya padaNya. Segala aduan hanyalah tertuju padaNya. Dan orang yang di cintai Allah, tentulah Allah ridho, dan gak mungkin Allah rela hidupnya sia-sia. Sepakat..? selanjutnya, sebagaimana pada bagian pertama tulisan ini, Allah berfirman bahwa laki-laki yang baik hanyalah untuk perempuan yang baik. Seandainya ‘Aku’ telah mencintai Allah dengan baik dan benar, tentu Allah akan berikan ‘Dia’ yang juga mencintai Allah.. 🙂 untuk bagian ‘Aku Sayang Dia, Dia Sayang Aku..’ agaknya saya nggak perlu tafsirkan deh, antum jauh lebih paham, sebab saya nggak romantis.. afwan.. :P

Dan dari berbagai kisah pun, sepertinya memang fisik bukanlah hal yang utama. Agama. Itu saja. Biar Allah yang jadikan fisik jadi indah, harta melimpah, dan nasab penuh barokah. Hanya terkadang, kita seperti kurang siap.. bismillaah. Semoga Allah jadikan kita pribadi-pribadi yang siap.. 🙂

Kalau berkait dengan waktu kapan harus menikah, agaknya silakan membaca buku-buku agama SMA. Di bab munakahat sudah ada kapan menikah itu menjadi wajib bagi kita. Haruskah umur 25..? ah, kata siapa..? kalau ada yang bilang umur 25 itu sunnah Rasul, coba orang itu di suruh baca kitab Sirah lagi. Apakah umur 25 Muhammad SAW sudah di angkat menjadi Rasul..? Ada hadits yang di sampaikan Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib yang di riwayatkan oleh Tirmidzi, salah satu hal yang tidak boleh di akhirkan ketika kita sudah menjumpainya adalah wanita yang sudah menemukan pasangan yang sepadan dengannya. Seandainya siap, silakan saja.. :D

Oh iya, tiba-tiba ingat. Satu waktu saya pernah di tanya sama orang tua tentang masalah poligami. Hmm. Hmm. Ini berat nih. Mari kita tengok Rasulullah SAW. Rasulullah beristri lebih dari satu setelah Khadijah ra. wafat. Sedangkan Nabi Ibrahim, menikah lagi setelah istri pertamanya belum juga di beri karunia anak oleh Allah ta’ala. Mengerti maksud saya..? kalau nggak salah, penjelasan ini bisa antum dapat di buku Api Sejarah jilid 1. Menarik memang masalah poligami. Saya nggak mau bicara terlalu banyak tentang ini, itu saja. Takut salah. Hehe. 🙂

sebenarnya banyak kisah yang mau saya tulis di sini. Kisah dari sekitar saya sendiri. Mungkin lain waktu.. kalaulah ada yang menyalahi sunnah, mohon di ingatkan, di beri masukan. 🙂 semoga Allah mudahkan kita dalam segala hal, dan membersamai kita dalam tiap langkah. semoga manfaat.

wallahualam..

—————————————————————————————————————————————————–

Aku Cinta Allah.. Dia Cinta Allah..

Aku Sayang Dia.. Dia Sayang Aku..

Semoga ukhuwah kita berkah

Salam hangat persaudaraan..

10 comments on “Re : Nik*h. Part 2

Tinggalkan Balasan ke Pemindai Langit Batalkan balasan