Hening yang Bening

Ada yang bekerja keras dengan banyak berkorban, lalu ia lupakan. Ada yang beramal besar, lalu mengingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Dan ada yang sama sekali tak pernah beramal lalu merasa banyak amal. Dan kerjanya menyalahkan orang yang beramal.

Tidak mau kalah dan tertinggal di belakang. Tidak malu menukar kerja dengan kata. Merasa berlari namun ternyata diam tak berbuat apa-apa. Merasa berlari cepat, ternyata malah berada di posisi tertinggal. Merasa lelah, padahal baru saja memulai. Beristirahat saat yang lain berlari. Ikut berlari, padahal yang lain tak pernah berhenti berlari.

Itulah sebabnya tidak banyak yang kuat di tempat ini. Bisa jadi nanti, kita tak lagi kuat menahan beban. Membenci, lalu memusuhi. Bagaimana lagi engkau yang kerjanya dalam kerahasiaan? Tanya Uwais, yang memilih jalan sunyi, jalan hening yang bening. Atau seperti semut hitam, kata Ikrimah. Merambat pelan pada bongkah pualam, di kala malam. Kelam..

Baca lebih lanjut

Adillah Bahkan Sejak dalam Pikiran

Semua yang kita dengar adalah pendapat, bukanlah fakta. Dan apa yang kita lihat hanyalah cara pandang kita, bukan kebenaran. Tidak semua terang berakhir senang. Karena itu berhati-hatilah kau pada semua yang menyilaukan. Picingkan mata agar tampak benar. Tidak semua yang terang itu membawa senang. Malah seringkali jika kau ikuti, selain silau kau juga bisa terbakar. Pada dunia jangan kau silau. Dia hanya sebentar, malah sering membuatmu dahaga berkepanjangan. Ambil saja seperlunya lalu tinggalkan.

Ingat selalu arah mata angin kebenaran. Dia bisa saja tersamar tapi tidak mungkin hilang. Jaga selalu diri agar tersadar. Membaca-baca pertanda, beberapa orang yang bicara masalah ini, hanya melihat dengan mata lahir. Baik yang membela atau mencela. Tanya hati.

Semesta yg dicipta Allah dalam enam kali hitungan hari ini sangatlah besar. Jangan kau sibuk pada hal kecil bersifat recehan. Jangan kau habiskan umur dan waktumu untuk mengejar sesuatu yang akan hilang, usang atau rusak cemar. Kejarlah keabadian.

Kita memang makhluk fana. Tapi Allah Sang Maha Pencipta memerintahkan raihlah khairun wa abqa. Kebaikan yg baka. Kekuasaan itu bagus, asal kau tidak terbuai tipu oleh semua kesenangan yg kian menggila. Harta itu juga baik asal kau mampu menggunakan di jalan Tuhan. Menolong yang lemah melawan kuasa yang penuh kezaliman. Bukalah mata memikirkan apa yang bisa kau lakukan, dan tutuplah mata dengan menghitung kebaikan yang sudah kau berikan. Tariklah napas dengan mengingat akankah kau buang hembusnya untuklebih syukur atau semakin kufur. Semoga rahmat Allah terlimpah.

Baca lebih lanjut

By Septa Ryan Hidayat Dikirimkan di Opini

Kitab Al-Hikam : Insan Terjaga

Kitab Al Hikam

“Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi..”

Perjalanan jiwa seorang anak manusia dalam mencapai Sang Khalik bukanlah perjalanan mulus. Banyak duri menghadang di jalan yang berliku-liku. Tak hanya itu, hempasan badai juga siap melemparkan seorang salik (penempuh jalan) dari tujuan mulianya. Maka, hanya orang-orang yang berilmu dan berhati baja yang sanggup melewati jalan tersebut, mendaki sampai puncak kemenangan, menghadap Al-Haq Sang Pencipta. Mereka bergeming dari berbagai godaan di dunia, tak mau terjebak dalam kehidupan berbalut syahwat di alam fana.

Untuk menuntun setiap salik agar tetap bertahan di jalan menuju Sang Khalik itu, ulama besar Syeikh Ibn ‘Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam ini. Dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan as-Sunnah, guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.

Matan Al-Hikam, kitab setebal 558 halaman ini, adalah sebuah karya yang ringkas, menggugah  dan penuh makna, syarahnya yang panjang dan tak habis-habis. Al-Hikam patut menjadi pelajaran para penulis atau pembicara agar tidaklah tertuang satu kalimat kecuali yang padat manfaat. Tulisan bergizi tidak sibuk berindah-indah tapi lupa pada hujjah. Tapi tidak pula abaikan cara bertutur sehingga pembaca sulit mengunyah. Karya bergizi, dibaca yang awam ia mencerdaskan dan memahamkan, sementara dibaca yang berilmu ia mencerahkan dan tak membosankan. Sebuah karya yang bergizi terasa ringan karena bagusnya cara bertutur dan berbobotnya isi. Maka, asyiklah membacanya dan tak membosankan. Tapi tak setiap yang mengasyikkan saat membaca, bukan jaminan bergizi. Maka, periksa hujjahnya. Sungguh, penulis yang berharap betul barakah dari tulisannya, ia tak segan mematut diri berlama-lama agar pena tak menebar kesalahan. Mereka menulis apa yang penting, bukan yg menarik. Maka mereka tak sibuk memuji karya sendiri. Tidak pula menyibukkan diri memikat orang, apalagi untuk membenci atau sekadar menilai kelemahan. Kebaikan telah memenuhi seluruh jiwa raga mereka. Ah, dimana maqam kita..?

Baca lebih lanjut

By Septa Ryan Hidayat Dikirimkan di Opini

Mencintai Malam

Aku mencintai malam, melayari sayap-sayapnya dengan menulis dan menikmati lantunan Cinta Seorang Kekasih nya Maidany atau irama syahdu Fukai Mori seperti ini serupa diberi sepotong syurga berlinangan madu. Seperti seorang bocah kecil yang menemukan rumah kayunya di pinggir sungai berbatu-batu. Asyik bersunyi dengan rasa yang entah kunamakan apa. Hanya aku dan aksara.

Aku dan malam adalah tak berbeda dengan tak sedikit insan yang karib padanya. Menuliskan banyak hal, hal yang berdesak-desakkan di benak, hal yang berhimpitan dalam rasa. Yang sering tak mungkin kuungkapkan dalam lisan atau tak bisa kulukiskan dalam bahasa perbuatan.

Pada kanvas malam, kutuliskan apa saja yang kuingin menjadi. Tak sebatas khayal, kugoreskan segala impian pada gugusan aksara, menjadikannya galaksi kisah-kisah yang berrotasi pada sumbu imajiku. Acapkali banyak hal yang ingin kuterjemahkan dalam barisan pasal, hanya sekedar untuk  mewujudkan bayanganku tentang kasih dan cinta. Atau, tak sedikit perihal yang ingin kusketsa agar dapat mendzahirkan rekaanku tentang duka nestapa. Hingga gema adzan shubuh mengingatkanku, bahwa gulita telah berlalu.

Namun, sering malamkupun hanya berarti secangkir susu hangat dan beberapa buku yang tak tuntas kueja. Hanya membuka-buka halamannya, dan menikmati ilustrasinya, atau sekedar mengagumi kata pengantar dan kesimpulannya saja. Ya, sering malamku sesederhana itu. Yang acapkali kudapati dari yang sederhana itu tersimpan apa yang dikata orang tentang kebahagiaan. Kebahagiaan yang mungkin tak bisa kutemukan pada riuh keramaian.

Adalah kisah-kisah malam tentang munajat cinta yang dilarung insan dalam gelombangnya yang tenang. Diantara thawaf sang tasbih dalam jemari dan teritis air mata yang bermuara di sajadah suci. Aku, dalam kemarau imanku dan meranggasnya reranting ilmuku, dengan hati malu turut hadir dalam syahdunya kelam, bersama rembulan adukan segala kelemahan dan permohonan ampunan atas segala kekhilafan. Kepada Sang Pemilik Alam bertangisan tersedu sedan. Sungguh, ada hal yang tak bisa dilakukan siang sebagaimana yang telah dilaksanakan malam.

Aku mencintai malam, mengutip kelembutan heningnya yang berdaya maha. Memetik kembang-kembang hikmahnya yang bergelantung  di semesta nan tinggi. Mengayuh biduk nan lelah untuk menepi.

Baca lebih lanjut

Sejenak Hening

Kita berada dalam era keriuhan. Kita ditarik secara tak sadar ke dalam dua kehidupan, maya dan nyata. Sebagai makhluk sosial, kita hampir-hampir melupakan diri sendiri tersebab harus berada dalam dua dunia itu untuk memenuhi segala panggilan tuntutan keeksisan.

Dalam era keriuhan, kita butuh keheningan sejenak.

Keheningan sejenak mengajarkan kita untuk kembali mengenali diri. Keheningan memberikan tawaran kesempatan bagi diri untuk kembali sadar, bahwa banyak keping kebahagiaan yang telah kita lepas begitu saja. Kita kehilangan banyak sadar untuk menikmati hari-hari dengan penuh kedamaian dan kenikmatan.

Dalam era keriuhan, kita butuh bersejenak dalam hening. Bersejenak dalam hening mengantarkan kita kepada ketaktergesa-gesaan untuk menyikapi hari demi hari dengan ambisi yang menggalaukan, dan kenangan masa lalu yang mencekam langkah untuk menggamit banyak kebaikan di masa depan. Hingga diri terlupa bahwa hari ini tercipta untuk dinikmati indahnya.

Berheninglah sejenak. Bersejenaklah dalam hening. Akan banyak makna dan keindahan dalam hidup yang kita dapatkan… Baca lebih lanjut